SOCIAL MEDIA

Monday, September 28, 2020

Cerita Dari Sebatang Ketumbar

W.O.W, postingan blog ini sudah lama nangkring di draft. Satu tahun! Bahkan saya sudah lama gak menulis di sini. Jauh sebelum Indonesia akhirnya mengakui kasus pertama Covid-19. Ya, saya pikir 2019 buruk betul, ternyata ada kekacauan luar biasa pada 2020 yang seharusnya terjadi pada tahun 2012, sesuai prediksi menggemparkan di masa lampau.

Apa yang terjadi dalam kurun waktu 8 bulan sejak saya menulis di blog? Saya akhirnya kembali berkarir! Walau pekerjaan ini lepas alias freelance dan pemasukannya tidak mampu untuk membeli tempat pisau magnet yang saya idamkan, saya gembira karena bisa menulis lagi. Menulis kuliner. Tentu berbeda dari pekerjaan yang dulu. Kali ini lebih serius. Lebih jurnalistik. Lebih jujur. Gembira bukan main tetapi di saat yang bersamaan, saya menyadari bahwa waktu untuk menulis secara personal jadi sirna. Jangan bayangkan sesibuk apa saya dengan pekerjaan ini karena gak sibuk-sibuk amat, kok! 

Dengan terjadinya pandemi sejak Maret hingga kini, saya banyak memberi fokus pada kebun guna menjaga ketenangan batin. Saya tidak bisa datang konseling, maka harus mencari alternatif agar emosi dapat tumpah ruah dengan sehat and gardening is the only answer. Kebanyakan tanaman yang saya semai dari biji adalah sayuran. Dengan aneka metode yang telah dipelajari selama dua tahun belakangan ini, saya dan suami mengerjakan proyek bedeng (garden bed), menanam semua sayuran dengan cara organik tanpa bahan kimia sama sekali.

Kegagalan acap kali terjadi, terutama dalam proses semai. Ada saja masalahnya mulai dari biji dimakan hewan kecil, nutrisi tanah tak mencukupi untuk tunas bertumbuh, kekeringan ditinggal, sampai benih tidak unggul sehingga tidak muncul tunas sama sekali. 

Salah satu tumbuhan yang getol saya coba tanam adalah ketumbar. Herba tertua yang benihnya sudah ditemukan sejak 5000 SM ini paling membuat saya frustasi karena tidak pernah sesenti pun menunjukkan tanda-tanda kehidupan dari sebijinya. Apa yang salah? Aneka tips dari internet rasanya tidak membantu sama sekali. Apakah kualitas bibitnya? Atau barangkali........saya dikutuk peri ketumbar karena dosa masa lalu?

Wait!

Sebelum loncat pada kesimpulan bahwa saya dikutuk, ada baiknya saya bawa kalian semua ke masa lalu. Tepatnya pada tahun 2009 di salah satu restoran Vietnam di bilangan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Saya dan beberapa anggota keluarga besar baru saja keluar dari tempat karaoke dan menginginkan sesuatu untuk dimakan. Salah seorang tante yang ternyata gemar hidangan khas Vietnam mengusulkan untuk singgah di restoran itu karena masih buka walau sudah cukup malam.

Pengetahuan saya tentang Vietnam hanya sebatas TAHU nama ibukotanya dan fakta bahwa Vietnam anggota ASEAN. Dengan modal tak mau dianggap katro, saya main pesan saja, entah apa. Datanglah aneka sayuran dengan beberapa potong daging tipis dihiasi ketumbat. Di bawah daging itu ada sesuatu yang saya kira MIE. Saya susun makanan di atas sendok. Mie, daging, dan ketumbar. (sebagai informasi, saya belum tahu juga kalau itu ketumbar apalagi tahu rasanya. Saya pikir itu daun bawang) lalu HAP. Mengunyah, mengecap. MOMUNTAH!

Aneka aroma merasuki tenggorokan, menyebar ke indera penciuman. Menyabeti dinding dalam hidung secara intens bak pertarungan lightsaber sengit antara Kylo Ren dan Rey. Mie yang palsu ini ternyata helaian tauge. Bagaimana cara orang Vietnam menanam tauge sampai sepanjang dan setebal ini? Mengapa aroma dan rasa daun ketumbar terasa seperti kenangan buruk saat dulu membaca buku 'Siksa Neraka'?

Tentunya saya tidak lantas memuntahkan makanan. Dengan air mata di ujung mata serta doa-doa pertaubatan yang dipanjat dalam diam, saya memberanikan diri untuk menelan kunyahan bombastis di mulut. Satu masalah selesai, datang lah masalah selanjutnya. Bagaimana menghabiskan makanan ini? Karena setelah tengok kanan kiri tak ada yang menyadari raut wajah saya, maka saya putuskan untuk hanya menelan sisa-sisa irisan daging dicelup kecap asin pedas.

Tidak semua orang suka dengan aroma herba, apalagi secara sukarela menyuapkannya ke dalam mulut sendiri. Sebagian tidak terbiasa dengan herba karena di tempat Ia tinggal tak tersedia jenis-jenis tertentu. Sebagian lagi memang tidak suka dengan bau-bau yang tajam. Sebagian lagi adalah anak kecil yang belum memahami nikmat surgawi alias delicacy.

Saya di tahun 2009 adalah contoh terakhir. Setelah kejadian buruk itu, saya menghindari menambahkan ketumbar pada makanan, terutama ketika berkunjung ke resto khas negara-negara ASEAN seperti Vietnam, Thailand, Singapura. Di Indonesia sendiri untungnya lebih sering menggunakan ketumbar bubuk (yang dihaluskan bijinya) dalam bumbu dari pada daunnya.

Kembali ke masa kekinian. Saya dengan akal yang semakin 'berakal', lidah yang semakin kaya akan pengetahuan rasa, otak yang tak lagi katro dan setara dengan otak anak-anak, kemudian mencoba satu hidangan andalan di Bubur Cap Tiger, Cikajang. Bubur ayam polos dengan ayam panggang.


Daging ayam berkulit cokelat semi-garing dijajarkan dengan apik bak barisan anak pramuka bersama potongan julienne jahe kupas, telur pitan, dan...musuh lama saya, daun ketumbar. Beranikah saya mencoba ketumbar? Mampukah saya melunturkan kebencian pada ketumbar sama seperti saya akhirnya menyerah pada petai yang dicampur sambal?

Harga diri sebagai seorang penulis makanan dipertaruhkan. Pada tahun 2019, tahun terburuk (Saat itu) dalam hidup, saya akhirnya mengunyah daun ketumbar bersama daging ayam panggang dan mencocolkannya dalam saus kecap asin.



Rosemary sangat cocok dengan ayam dan kentang. Aroma rosemary mentah yang mirip dengan kayu putih tidak mencolok nostril tetapi justru membantu ayam dan kentang mencapai level kenikmatan yang tak terbayangkan.

Sama halnya dengan basil dan tomat. Asam, manis tomat justru hanya berhasil ditemukan jika basil menggandengnya mesra.

Kini apa yang terjadi pada suapan daun ketumbar, ayam panggang, jahe dan kecap asin adalah takdir. Mereka ditakdirkan untuk bahu membahu menorehkan memori pada lidah dan menyimpannya dalam salah satu laci di otak. Aroma jahe dan daun ketumbar saling mencabik pakaian, melahirkan aroma yang kemudian dikawinkan lagi dengan aroma smokey dari ayam panggang. Pedas dan tajam sengaja menginjak-injak lidah agar kemudian dapat diobati dengan air dari daging ayam dan kecap asin.

Ragu.
Bingung.
Penasaran.

Ternyata daun ketumbar lebih cocok dengan campuran kecap asin. Daun ketumbar meninggalkan rasa kering yang hanya bisa disandingkan dengan kecap asin. Merekalah kombo yang sesungguhnya. Mereka yang berperan dalam mengangkan rasa ayam dengan jahe.

Ah, daun ketumbar.

Mana tahu saya akan tergila-gila denganmu.

Kini obsesi saya adalah menanamnya sendiri di kebun. Walau masih sulit mewujudkannya, tetapi impian memanen daun ketumbar untuk dimakan bersama gyoza tetap ada. Dan saya pun berkawan baik dengan ketumbar.

LOVE,

Allysa
Tuesday, December 31, 2019

2019 Bagai Kilat, Apa Saja yang Sudah Ku Perbuat?

2019 Bagai Kilat, Apa Saja yang Sudah Ku Perbuat?

Pernyataan bahwa tahun 2019 adalah tahun terberat sepanjang hidup mungkin diamini oleh banyak muda-mudi terutama yang sedang mengalami krisis kuartal hidup aka QUARTER LIFE CRISIS seperti saya. Tahun yang saya mulai dengan merayakannya untuk pertama kali (tidak bersama keluarga inti melainkan bersama keluarga suami) di Thamrin dalam hujan dan dingin yang menusuk namun sedikit menggembirakan.
Sunday, November 17, 2019

How Serious is the Magic Behind Indonesian Food?

If you're wondering how maybe millions of people around the world love Asian cuisine the answer is in its valuable culture we put on every dishes.

Not that European Cuisine such as Duck Confit or Tarte Tartin aren't filled with love and respect for the culture... it's just that Asian cuisine are bold enough to throw a sandal to you, just like our Asian moms whenever they get angry.

From east to west, Asian's flavors have been manipulate our mind thru its magic. Playing with our tongues and slurping in every corner. The food are so good, it sparks all the basic senses. Till the last spoon, the brain has been blown away. "I want more!!!!!!!"


Well not that everything is so perfect, no flaws at all. Still sometimes I don't get the idea behind some weird dishes. I mean...why would anyone eat that? That looks disgusting, man! 
How Serious is the Magic Behind Indonesian Food?
Fried fish by my mom-in-law

Even in my country, Indonesia...there are tons of weird food. I'm not talking about the weird (apparently popular) hipster food, I'm talking about the weird traditional food. Ain't gonna say what... it'll cause problems. It's enough we've been bean boozled by ridiculous political stuff. I don't wanna add more gasoline.

Speaking of Indonesia….I can't say much about other's country culinary cultures because am gonna talk about my beloved country instead. A country which represents the best Asian culinary arts. (I'm sorry Japan, you're delicious too but I'm defending my country first)

What's so special with our traditional food? Well Ladies and Gentlemen, it'll take forever to explain it so let me make it fast.

There are a lot of soup dishes in the world. Every country have one, the best one, the worst, -the side dish only-one and so on. In Indonesia, soup is more than anything. I know we're not like Korea, they also have a lot of soup's recipes passed on from generation to generation (kimchi jjigae, and another jjigae) but Indonesian eat soups like crrrrraaaaaayyyyzeeeehhh.

In some part of the world, you eat soups to warm up your body from the cold or chilly weather. Not here baby...from Sabang to Merauke, we eat soups for sweat whether it's during hot weather or thunderstorms. I have never read a scientific research about it but I can say...pretty...sure...that Indonesians are always looking for a hot juicy drip of sweat. I'm sorry if it sounds disgusting. I'm one of them maaaan, I said it...I eat a bowl of hot frickin soup in a day light and add few teaspoons of frickin hot chilly sambal on it. 

Soup is always part of the entree dish in a fancy restaurant. Served in a small bowl with a small portion, idk why. Sometimes it's hot, warm and there are cold soup...I can'even....

Glad I can eat a big bowl of hot soup for my main dish here. As I said before Indonesian taking soup seriously and to the next level.

The variety of soups are incredibly much or maybe uncountable. We have Soto, a traditional dish which consists of stock (cooked separately usually with chicken bones or beef bones but not really thick) and meat (chicken/beef/innards). 

Different city means different kind of soto. In Jakarta we have Soto Betawi. Instead of just a regular stock we also add coconut milk to create umami and to thickens the soup. Beef, tomato slices, fried potatoes and emping (traditional crackers) are the whole point of Soto Betawi.

In Lamongan, East Java, they have the most popular soto in this country which is Soto Lamongan. This is the most savory soto in my opinion. It consists of tasteful yellowish Chicken stock, shredded chicken meat (ayam kampung, this is what makes it gewwwwddd), leek, sometimes boiled egg and koya. Koya is the important ingredient in Soto Lamongan. It's actually a ground shrimp crackers and I had no idea that this heavenly powder could make such a huge impact on a dish. Thank you Lamongan, I love you…

In Sumatra they also have various of soto. Soto Padang, Soto Medan. Soto Banjar from Kalimantan. Coto Makassar from Sulawesi (this is my favorite thanks to my Husband. Damn now I'm craving for a bowl of Coto Makassar. It's too good I can't take it anymore!!).

I think the only area that has no soto is East Indonesia. They do have some sort of soups dishes but soto? I never heard of that. East Indonesia's dish are usually seafood because the regions are the wealthiest maritime. But I might have to visit East Indonesia to find out. 

Woow 700+ words and I only talk about Soto? Of course our food isn't only a bowl of soto. This is actually proof of how rich our traditional food are that I can't even stop talking about soto. Oh and if we’re still on board with talking about soup, Indonesia also have bakso (meatball), how can you ever compete with that? Oh...you don’t wanna talk about soup again? Okay then, moving on!!!

Indonesians eat rice as the main source of nourishment. Tho too much nasi/rice isn't good for you, most of Indonesian are still believe that "You're not eating unless it's rice". No wonder our number one killer is diabetes...maybe..we should consider to think twice before we eat rice #rhymingbaby.

Nevertheless, rice is actually a common main dish in Asia. Japanese, Chinese, Malaysian, Koreans and so on. They too eat rice. That's why the variations of rice dish are uncanny. 

We're not the inventor of Nasi Goreng (fried rice) but people from around the world knows the best kind is from Indonesia (THANK YOU CHINESE-INDONESIA ANCESTERS!!). Don’t be lazy, google it yourself about our nasi goreng. Even the youtubers tryna imitate our recipes.

Just like all the other food, nasi goreng recipes aren’t the same to each other. Almost any families here have their own recipe. Mine for example, I can’t make nasi goreng as good as my mother’s. She usually put only a tiny splash of sweet soy sauce whilst the nasi goreng seller in my block uses lots of it. Sometimes it can be too sweet because of the soy sauce. Sometimes it has no color, like a simple cooked white rice but the flavour is richer than the darker one. 

The technique to make a good nasi goreng is not a joke. You need to stir it well otherwise you’ll received no flavor at all and you will definitely bite a tiny block of salt because of your lack of stirring. Please don’t be such a lazy donkey when it comes to making nasi goreng. 

Some people are not taking nasi goreng seriously they treat this special dish as if it’s not the most delicious food in the world. The result is as you can guess, so bland even my sweat tastes better. (Just realized how disgusting it is to compare nasi goreng and sweat but please understand I’M WORRY SICK ABOUT THE FUTURE OF DELICIOUS NASI GORENG!!!!!)

The list didn’t stop there because our culture grows everyday. I see some shitty f&b business owners trying to create some weird stuff with our traditional food. Sometimes it works, sometimes it’s such a huge failure, I mean..c’mon….Ceker Cokelat Keju? WHY?
How Serious is the Magic Behind Indonesian Food?
Sambal

As a forever fan of Indonesian normal food, I hope we take a step back and educate ourselves on how the culture inside our traditional food has been formed in the first place. It’s important to prevent a case like where rendang actually came from in the future. We can also stop some of the rare dishes like Sayur Babanci (Batavian traditional Food) from disappearing completely.

Write the memoirs, read the legends. We need our traditional cuisine to shine forever because it's seriously MAGICAL.

Love,

ALLYSA